Kamis, 02 September 2010

Surat Utuk Presiden

Aku sangat bangga pada negeriku, Indonesia.
Namun, aku belum bangga padamu, Bapak Presidenku.
Di saat Pulau di pagari, Bapak memilih diam.
Di saat laut Bahari ini dicuri, Bapak memilih diam.
Di saat Wayang Jawa direbut, Bapak memilih diam.
Di saat Pendet Bali dipermainkan, Bapak memilih diam.
Memang diam itu emas…
Namun tidak berarti emas itu benar.
Baik itu belum tentu benar.
Namun, Benar pastilah baik…
Sayang sekali,
Di saat anak-anak bangsa perlu nyala obor.
Bapak malah meniup api lilin menjadi padam.
Di saat gelora jiwa putra-putri bangsa ingin bangkit.
Bapak malah tersenyum tenang menjadi orang bijak.
Sayang sekali… Sayang sekali…
Padahal, Bapak Presidenku… Bila Bapak paham.
Hanya sebuah kalimat “Mari kita ber-Jihad untuk negeri ini!”
Energi kebangkitkan akan muncul dari dalam sanubari ini.
Jiwa gelora darah mendidih sebagai putra bumi pertiwi.
Yang direbut oleh tumpahan darah-darah para pahlawan.
Karena harga diri yang dipermainkan oleh bangsa lain.
Bapak tidak perlu menjadi Presiden Soekarno untuk bersikap tegas.
Bapak hanya perlu menunjukkan bahwa:
Susilo Bambang Yudhoyono adalah seorang yang pemaaf.
Namun, Susilo Bambang Yudhoyono juga seorang yang tegas.
Bila dulu dengan bambu runcing kita bisa mengusir penjajah.
Seharusnya dengan rotan kita bisa mengusir tetangga…
Bukanlah senjata yang diperlukan agar berani berkata.
Namun, hanya diperlukan sebuah sikap yang tegas.
Berani mengatakan bahwa ini lautku!
Berani mengatakan bahwa ini tanahku!
Berani mengatakan bahwa ini pagarku!
Ini pohonku, ini manggaku.
Kau boleh meminta manggaku.
Kau boleh membeli manggaku.
Namun, jangan kau curi manggaku.
Itu saja, sesederhana itu saja Presidenku…
Namun, sudahlah apapun pilihanmu untuk bangsa ini.
Bapak tetap Presidenku…
Bapak tetap Bapakku…
Bapak tetap Pemimpinku…
Dan aku tetap mencintaimu…
Mari, Bapakku… Mari… Mari..
Kita ber-Jihad untuk bangsa ini, bangsa Indonesia.
Bangsa yang masih terjajah oleh sikapnya sendiri…
Mari ber-Jihad untuk tegakkan kepala!
Mari ber-Jihad untuk busungkan dada!
Mari ber-Jihad untuk melangkah pasti!
Mari ber-Jihad menuju Indonesia yang sejahtera!
Mari Ber-Jihad menuju Indonesia yang benar!
Atau…
Kita akan tetap terjajah seribu tahun lagi…
Sejarah mengajarkan…
Kadang memang perlu darah untuk merubah dunia.
Maafkan aku, Bapakku…
Maafkan aku, Presidenku…
Aku hanya pelanjut amanah leluhurku.
Amanah Engkongku Lim Hok Kim:
“Jangan tinggal di negeri ini…
Jika kita tidak mau berkorban untuk negeri ini!’
Tabik sujudku untukmu, Bapak Presidenku.